Kepemimpinan Holistik di Era
Permakrisis: Menavigasi ESG, Digitalisasi, dan AI dengan Kearifan
Author: Bambang Tutuko (bambang.tutuko@uisi.ac.id)
Published by Magister Manajemen on October 9, 2025
Kepemimpinan Holistik di Era
Permakrisis: Menavigasi ESG, Digitalisasi, dan AI dengan Kearifan
Author: Bambang Tutuko (bambang.tutuko@uisi.ac.id)
Published by Magister Manajemen on October 9, 2025
Dunia modern tidak lagi bergerak dalam siklus yang dapat diprediksi. Kita telah memasuki era "permakrisis"—sebuah kondisi permanen yang ditandai oleh volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas (VUCA) yang tumpang tindih. Dalam arena yang penuh gejolak ini, tiga gelombang disrupsi raksasa—tuntutan akuntabilitas melalui kerangka Environmental, Social, and Governance (ESG), akselerasi digitalisasi yang tak terhindarkan, dan kebangkitan kecerdasan buatan (AI)—secara fundamental menulis ulang kontrak sosial antara pemimpin dan organisasi. Model kepemimpinan usang yang bertumpu pada komando dan kontrol kini tidak hanya tidak efektif, tetapi juga berbahaya.
Artikel ini akan membedah secara mendalam hakikat kepemimpinan holistik yang dibutuhkan saat ini, melalui sintesis perspektif konvensional, spiritual, dan syariah, serta merumuskan arketipe pemimpin yang mampu menavigasi ketiga tantangan transformatif ini dengan visi dan integritas.
Fondasi Kepemimpinan: Tiga Lensa Pemahaman Kritis
Untuk membangun model kepemimpinan masa depan, kita harus terlebih dahulu memahami fondasi yang telah membentuk pandangan kita hingga hari ini.
Lahir dari efisiensi mekanistik ala Taylorisme, kepemimpinan konvensional memandang organisasi sebagai mesin yang output-nya harus dimaksimalkan. Teori-teori seperti kepemimpinan transaksional dan transformasional, meskipun berbeda pendekatan, berbagi tujuan yang sama: mengoptimalkan sumber daya manusia untuk mencapai target. Namun, pandangan ini secara inheren mereduksi manusia menjadi sekadar "sumber daya". Kegagalannya kini terpampang nyata dalam data Gallup (2023), di mana 8 dari 10 karyawan global merasa tidak terlibat aktif atau bahkan membenci pekerjaannya, sebuah epidemi keterasingan yang merugikan ekonomi global triliunan dolar setiap tahunnya.
Sebagai koreksi, kepemimpinan spiritual muncul dari kesadaran bahwa manusia digerakkan oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar insentif finansial: pencarian makna (purpose). Pendekatan ini berfokus pada penciptaan visi yang menginspirasi, menanamkan harapan di tengah kesulitan, dan membangun budaya kepedulian altruistik. Ia menjawab pertanyaan fundamental "mengapa pekerjaan ini penting?". Dampaknya terukur secara ilmiah; penelitian oleh Saleem, et al. (2020) membuktikan bahwa lingkungan kerja yang dipimpin secara spiritual secara langsung meningkatkan keterlibatan, menurunkan tingkat burnout, dan memperkuat komitmen karyawan.
Melampaui spiritualitas umum, perspektif syariah memberikan kerangka etika dan operasional yang kokoh. Kepemimpinan di sini bukanlah privilese, melainkan amanah—sebuah kepercayaan suci yang pertanggungjawabannya melampaui laporan kuartalan, yaitu kepada Tuhan dan masyarakat. Prinsip ini dioperasionalkan melalui empat sifat kenabian: Siddiq (integritas total), Amanah (dapat dipercaya dan bertanggung jawab), Tablig (komunikator yang transparan), dan Fathanah (cerdas dan bijaksana). Lebih jauh, setiap keputusan pemimpin harus selaras dengan Maqasid al-Shariah (tujuan-tujuan luhur syariah), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini mengubah fokus pemimpin dari sekadar "apa yang legal" menjadi "apa yang adil dan membawa maslahat bagi semua".
Fondasi holistik ini menjadi bekal bagi pemimpin untuk menghadapi tiga tantangan terbesar zaman kita.
ESG telah berevolusi dari sekadar laporan keberlanjutan menjadi faktor krusial yang menentukan valuasi perusahaan. Arketipe pemimpin holistik yang dibutuhkan adalah The Visionary Steward (Penjaga Visi), yang tidak melihat ESG sebagai beban, melainkan sebagai peluang inovasi. Kepemimpinan visioner Satya Nadella di Microsoft adalah contohnya, saat ia menargetkan perusahaannya menjadi carbon negative pada 2030 (Microsoft, 2024).
Digitalisasi dan model kerja hibrida telah menciptakan paradoks: konektivitas teknis yang tinggi seringkali disertai isolasi emosional. Arketipe pemimpin yang mampu menavigasi ini adalah The Digital Humanist (Humanis Digital), yang memprioritaskan koneksi manusia. Praktik ini dipelopori oleh Sid Sijbrandij, CEO GitLab, yang membangun perusahaan remote-first terbesar di dunia di atas fondasi transparansi radikal dan kepercayaan (GitLab, n.d.).
Di Indonesia, arketipe pemimpin yang menyatukan visi sosial (ESG) dan transformasi digital ini diwujudkan oleh Chairul Tanjung. Dengan filosofi "Si Anak Singkong", ia membangun CT Corp bukan sekadar sebagai konglomerasi, melainkan sebagai sebuah ekosistem yang berpusat pada konsumen Indonesia. Ini adalah perwujudan nyata dari aspek "Sosial" dalam ESG, di mana tujuan utamanya adalah menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja yang berputar di dalam negeri. Kepemimpinannya memegang teguh prinsip Amanah untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa. Inovasi terbesarnya adalah mengintegrasikan pilar bisnisnya—media, ritel, dan keuangan—melalui transformasi digital. Peluncuran Allo Bank dan integrasinya ke dalam ekosistem Transmart, Transmedia, dan unit bisnis lainnya adalah langkah Fathanah (cerdas) untuk menciptakan super-app yang memberikan kemudahan dan nilai lebih bagi masyarakat luas. Ia menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi Digital Humanist sekaligus Visionary Steward dalam konteks negara berkembang, menggunakan teknologi untuk memperkuat ekonomi domestik dan melayani kebutuhan riil masyarakat.
AI generatif telah memicu kecemasan eksistensial tentang masa depan pekerjaan. Arketipe pemimpin yang dibutuhkan adalah The Chief Empathy Officer (Pemimpin Empati Tertinggi), yang melihat AI sebagai mitra untuk mengaugmentasi kapabilitas unik manusia. Visi ini diartikulasikan dengan kuat oleh Julie Sweet, CEO Accenture, yang memimpin investasi besar-besaran dalam program "Responsible AI" dan reskilling karyawan secara masif. Di bawah kepemimpinannya, Accenture secara proaktif menciptakan jalur karir baru yang berpusat pada keterampilan yang tidak dapat ditiru oleh AI: pemecahan masalah kompleks, kreativitas, dan kecerdasan emosional (Accenture, 2023).
Era permakrisis ini bukanlah ancaman, melainkan sebuah panggilan. Panggilan untuk meninggalkan paradigma kepemimpinan yang ekstraktif dan mekanistik, dan beralih menuju model yang holistik, regeneratif, dan manusiawi. Pemimpin masa depan yang akan berhasil adalah seorang Visionary Steward yang menjadikan ESG sebagai kompas moralnya, seorang Digital Humanist yang menenun kepercayaan dalam jaringan digital, dan seorang Chief Empathy Officer yang memanfaatkan AI untuk mengangkat derajat kemanusiaan.
Ketiga arketipe ini bukanlah tiga orang yang berbeda, melainkan tiga wajah dari satu pemimpin holistik yang sama. Pemimpin yang mampu mensintesiskan pragmatisme konvensional, kedalaman spiritual, dan integritas syariah. Mereka tidak hanya akan membangun perusahaan yang tangguh dan profitabel, tetapi juga organisasi yang menjadi sumber kebaikan, makna, dan harapan di dunia yang sangat membutuhkannya.
Accenture. (2023). Our commitment to Responsible AI.
https://www.google.com/search?q=https://www.accenture.com/us-en/about/responsible-ai Fry, L. W. (2003). Toward a theory of spiritual leadership. The Leadership Quarterly, 14(6),
693–727. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2003.09.001
Gallup, Inc. (2023). State of the global workplace: 2023 report. Gallup.
https://www.gallup.com/workplace/349484/state-of-the-global-workplace.aspx GitLab. (n.d.). About the handbook.
GitLab. Diakses pada 9 Oktober 2025, dari https://handbook.gitlab.com/handbook/
Microsoft. (2024). 2024 Sustainability Report. Microsoft. https://www.microsoft.com/en-us/corporate-responsibility/sustainability/report
Saleem, F., Zhang, Y., Gopinath, C., & Adeel, A. (2020). Impact of spiritual leadership on work engagement: The mediating role of psychological empowerment. Management Research Review, 43(10), 1139–1160.
https://www.google.com/search?q=https://doi.org/10.1108/MRR-10-2019-0428
Picture by:
- Thumbnail: Foto oleh Ann H dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-kayu-angka-patung-6589280/
- Contect Image: Foto oleh Rebrand Cities dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kelompok-o-o-orang-mengadakan-rapat-1367276/